jump to navigation

O’Hashem in Memorium (A Tribute to Ohashem) March 6, 2009

Posted by mozamal in foto, Lain-lain.
Tags: , ,
trackback

Dokter Sederhana yang Dermawan
Laki-laki ini, lain dari kebanyakan laki-laki. Perjalanan hidupnya selama 74 tahun, diisi dengan berbagai ragam warna kehidupan yang unik dan penuh keteladanan. Sejak remaja sampai berpulang ke Rahmatullah, bisa di katakan hidup dalam “kemiskinan” dan berbagai “beban derita” berkepanjangan. Ia menghadapinya dengan bergurau penuh humor, mengisinya dengan berkarya tanpa henti. Beliau seorang Dokter yang mengabdi pada bangsa dan negara yang dicintainya tanpa kenal lelah selama 9 tahun di pedalaman miskin, Kota Agung, Lampung. 18 Tahun bekerja dinas sebagai Kepala Unit Gawat Darurat di Rumah Sakit Umum Abdoel Moeloek, Lampung sampai pensiun. Tidak lama kemudian pindah ke Jakarta atas desakan keluarga dan teman-temannya, mengingat Ohashem mengidap asma serius yang seringkali memerlukan perawatan intensif dan segera.

primaryDi masa tugasnya di desa terpencil, beliau membiasakan bekerja dengan fasilitas peralatan kedokteran seadanya. Malangnya, pasien yang datang padanya lebih sering justru setelah menjelang sekarat. Tidak jarang Ohashem demi menyelamatkan jiwa seseorang terpaksa harus melalukan operasi dengan alat yang semestinya digunakan para ibu memasak di dapur. Agaknya, itu pulalah sebab beliau suka mengulang ungkapan seorang pemikir Thomas Carlyle (1795-1881), tentang Rasulullah saw, kurang lebihnya:

Bila singkatnya waktu, sederhananya alat yang digunakan, sarana fasilitas yang dimiliki dan besarnya hasil yang dicapai merupakan ukuran kebesaran seseorang, adakah manusia lain yang melebihi kebesaran Nabi Islam Muhammad!?

Ohashem yang lahir dari keluarga petani, menjalani hidupnya dengan filosofi itu. Dalam keadaan apapun, sarana dan fasilitas bagaimanapun, tidak menghalanginya untuk berkarya dengan penuh ketulusan pengabdian. Kemampuannya memang didukung keuletan dan tingkat kecerdasannya yang diatas rata-rata. Pada usia sangat muda, 17 Tahun, selagi duduk di kelas dua SMA, ia dpercaya menjabat sebagai direktur SMP Muhammadiyah Wawonasa, Manado pada tahun 1953. Bandingkan dengan remaja dewasa ini.

Karya Monumental
Beliau sangat dikenal di kalangan cendikiawan, sebagai pemikir juga penulis. Apa gunanya berpikir kalau terlepas dari kehidupan, meminjam ungkapan Rendra. Karyanya antara lain: Rohani Jasmani dan Kesehatan (1957), KeEsaan Tuhan (1962), Marxisme dan Agama (1963), Menaklukkan Dunia Islam (1965), Jawaban Lengkap kepada Pendeta Prof. Dr. J. Verkuyl (1968), Saqifah (1987), Syi’ah Ditolak Syiah Dicari (2000), Haji Mengikuti Jalur Para Nabi (2000), Darah dan Airmata (2001), Muhammad Sang Nabi (2005), dan karya terakahir yang akan di terbitkan oleh Penerbit Mizan adalah “Benarkah ‘Aisyah Menikah di Usia Dini?” (buku yang dimaksudkan sebagai sebuah gugatan atas kebiasaan menikahkan perempuan di usia dini yang dipercaya sebagian masyarakat muslimin sebagai sunnah Rasulullah saw.)

Etos Menuntut Ilmu
Dalam setiap melakukan penelitian, yang menjadi pedoman tertinggi adalah kebenaran ilmu pengetahuan itu sendiri. Sekat-sekat ideologis, apapun bentuknya, tidak pernah menjadikannya bersikap subjektif. Ia berani merevisi keyakinannya sendiri ketika ada pandangan lain yang lebih rasional, objektif sesuai nalar yang layak diterima.

Lazimnya seorang ilmuwan, beliau seorang kutu buku yang sulit dicari padanannya. Tidur bersama buku lebih sering dibanding tidur bersama istrinya. Buku yang dibacanya sangat beragam. Sejarah, Filsafat, Agama, Sastra, Kedokteran, Silat (Kho Ping Ho) juga Novel.

Berteman Meski Berbeda
Amalia, puteri tunggal Ohashem menceriterakan, saat Ohashem berdinas di pedalaman Lampung, Kota Agung, seorang gadis Katholik, Sri namanya, membantu dirumahnya. Setiap hari minggu, Ohashem meminta agar keluarganya mengantar Sri ke Gereja di desa Gisting, yang letaknya 20 km dari rumahnya. Beliau juga berpesan pada seluruh keluarganya untuk tidak mengusik juga mempengaruhi, membujuk agar Sri merubah keyakinannya dengan cara apapun. Ohashem menganggap Sri telah menjadi bagian dari keluarganya yang layak dihormati dan disayangi. Keadaan seperti itu berjalan selama dua tahun. Kini Sri menjadi Kepala Susteran di Padang, Sumatera Barat. Tetapi Ohashem pulalah yang menjawab dengan tajam tulisan Prof. Dr. J. Verkuyl, seorang pendeta Belanda, yang menulis tentang Islam yang menurut Ohashem merupakan tulisan yang menyesatkan dan tidak adil.

Ohashem di Rumah Sakit (Hari-hari terakhir…)
Saat beliau di rawat di rumah sakit, semua perawat bukan terbebani olehnya, melainkan justru terhibur dengan kehadirannya. Saat itu beliau di rawat di Rumah Sakit Sumber Waras, Grogol, Jakarta. Layaknya Rumah Sakit Nasrani, tentu saja banyak suster perawat Kristiani. Dengan tulus dia memuji para Suster perawat yang kadang mengerumuninya, katanya:

Kalian ini orang-orang yang sangat baik mengabdi pada kemanusiaan. Kelak bila kalian tidak berada di Surga…maka saya akan demo protes kepada Tuhan.

Di hari-hari terakhir hidupnya di lantai lima, rumah sakit MMC, Kuningan, Jakarta, beliau didera sakit yang tak tertahankan. Dia bertanya pada perawat: “Mbak, tau gak kenapa jendela itu ditutup mati!?”. Perawat itu menjawab: “Yaa, memang sudah begitu pak Dokter”. Lanjut Ohashem: “Jendela itu ditutup mati, agar pasien yang mengalami sakit seperti saya ini, tidak meloncat di malam hari”. Di kamarnya yang berisi enam pasien, beliaupun sempat menghibur sesamanya. Setiap kali ia mesti ke kamar mandi misalnya, botol infusnya harus mengikutinya. Dia membawanya, mengangkat keatas kepalanya sambil mengatakan pada pasien lain:

ini obor olimpiade kita…”. Jadilah istilah “obor olimpiade” sebagai sebutan infus menjadi gurauan di antara pasien rumah sakit.

Begitulah Ohashem. Bukan hanya tahan dalam derita, melainkan juga mampu bergurau dengan derita yang memang sudah menjadi sahabat perjalanan hidupnya sambil terus berkarya.

Ohashem meninggalkan kita semua pada tanggal 24 Januari 2009 setelah dirawat selama 10 hari di Rumah Sakit MMC, Kuningan, Jakarta. Semoga Allah menerima disisi-Nya (di rangkum dari buku “Ohashem in Memorium”, Haydar Yahya, published by ICC-Alhuda)

“…Ibarat pohon yang berbunga, berbuah, meski hidup dalam kemarau berkepanjangan”

aku, yang pernah dekat selama hampir 5 tahun di Jakarta, sangat merasa kehilangan, di saat beliau sakit, aku tidak bisa berkunjung menengok, terlebih ketika beliau wafat, aku tidak bisa hadir, maafkan murid mu yang sombong ini, doaku selalu kupanjatkan setiap ku ingat engkau wahai guruku, O’Hashem….

o-hashem1

Comments»

1. amalia - March 7, 2009

Sukses yang Motih!, Ayahanda sering menyebut banyak anak Muda yang hebat-hebat termasuk Anda. Insya allah dalam setiap karyanya kita bisa memetik sesuatu yang bermanfaat bagi Umat. Salam

2. mozamal - March 10, 2009

@ amalia..terimakasih mbak..saya merasa sangat kangen dengan ami O’Hashem….

3. juangkarl - March 10, 2009

sugeng dalu mas? derek bela sungkawa ngih…,mugi gusti nampi ing kraton dalem ing suwarga langgeng….
kabar bingah tansah dipun tengga…..

4. mozamal - March 11, 2009

@juangkarl…meskipun gak ngerti bahasanya..yang pasti..saya juga turut berduka atas berpulangnya salah satu guru saya…:D

5. Hamba Tuhan - December 25, 2011

bang, apa kabar?

6. Motih Zamaludin - January 11, 2012

baik…siapa nih? 😀


Leave a comment